Penulis : Dr Mufti Ali, Ph.D, Laboratorium Bantenologi IAIN Sultan Maulana Banten
PENGENALAN
‘Tausug gagandilan bin sin kamaasan daing ha kastila, jipon pa milikan way kiyarapatan’ (Tausug adalah pejuang, peninggalan daripada leluhur, tidak pernah kalah oleh bangsa Spanyol, Jepang dan Amerika) adalah moto dan kearifan lokal yang terus mengiang di telinga orang-orang Sulu.
Moto ini menandakan keunggulan dan kehebatan mereka dalam berperang melawan setiap agresor yang akan melumpuhkan bangsa Sulu. Cerita-cerita heroisme yang lain yang dapat penulis rekam masing segar di memori kolektif masyarakat bangsa Tausug ini. Bagaimana 1000 tentara Spanyol yang menjajah bangsa Sulu, misalnya, dapat dikalahkan hanya oleh tiga orang ksatria Sulu adalah folklore yang segar dan terus didengungkan di telinga setiap warga Sulu.
Moto dan kisah heroik tersebut di atas nampaknya telah menjadi identitas dan jatidiri bangsa Sulu yang memang memiliki sejarah gemilang sebagai sebuah Kesultanan di wilayah Asia Timur yang makmur dengan kepemimpinan yang kuat dari para Sultannya. Karena hubungan dagang luas dengan dunia luar, dengan kekayaan alam yang melimpah dan Sultan yang adil telah menjadikan Kesultanan Sulu sebuah simpol ekonomi bagi jalur perdagangan di Asia Timur, menghubungkan seluruh pelabuhan dagang di wilayah Timur dari Hainan, Brunai, Ternate, Goa, Makassar, Banjar, sampai Melaka.
Namun demikian seiring dengan kedatangan pedagang dari bangsa Spanyol (1517-1885) yang terpikat dengan rempah-rempah yang melimpah dan kesuburan tanahnya serta posisi strategisnya dalam lintas perdagangan internasional perlahan-perlahan telah menyeret Kesultanan Sulu yang kuat dan mandiri dan bangsa Sulu yang bermartabat dan mandiri menjadi ‘wilayah konflik’ terus menerus. Dengan ditandatanganinnya Protokol Madrid tahun 1885, Kesultanan Sulu secara de facto dihapuskan dan berada, seperti wilayah lainnya di Philipina, dalam wilayah protektorat Spanyol.
Begitu pula kedatangan bangsa Amerika (1900-1942) dan bangsa Jepang (1942-1945) praktis telah mengubah wajah Kesultanan Sulu yang gagah dan gemilang menjadi sebuah wilayah peperangan antara bangsa pribumi dengan para agresor. Selepas pendudukan bangsa Asing, Kesultanan Sulu yang berdaulat terkooptasi dalam wilayah Republik Philipina yang berpenduduk mayoritas Katolik. Semenjak kemerdekaan Philipina, Sulu di bawah pemerintahan Philipina yang koruptif, telah membuat Sulu tidak beranjak dari nasibnya sejak di bawah Spanyol, Amerika dan Jepang. Praktis setelah tahun 1974 dengan ditandatanganinya Presidential Memorandum Order 427, bangsa Sulu kehilangan hak sama sekali menjadi mengembalikan jati dirinya sebagai wilayah Kesultanan.
KONDISI MASYARAKAT SULU KINI
Peperangan dan konflik yang berlangsung 600 tahun telah melemahkan keadaan ekonomi masyarakat Sulu. Korupsi dan nepotisme dalam roda pemerintahan Philipina juga telah menyebabkan masyarakat Sulu menderita. Warga Sulu hanya menikmati 10% saja dari dana rutin pembangunan yang dialokasikan APBN untuk mereka. Begitu pula dana APBD untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat menjadi seperti kue-kue yang hanya dinikmati oleh politisi dan pejabat lokal korup (Wawancara dengan Syahrizal, 24 Juli 2015).
Bantuan dari luar untuk mengentaskan kemiskinan struktural ini kerapkali tidak sampai ke warga Sulu. Antarabangsa pernah menyumbang jutaan dolar untuk peningkatan kesejahteraan warga Sulu, Bantuannya menguap di tengah jalan akibat korupsi. Begitu pula berbagai bantuan dari lembaga baik pemerintahan maupun NGOs umumnya tidak sampai ke masyarakat Sulu yang terisolasi baik karena konflik bersenjata maupun keadaan geografis yang jauh dari wilayah Philipina lainnya.
Keadaan demikian telah menyebabkan masyarakat Sulu umumnya hidup dalam keadaan yang mengenaskan. Fasilitas umum seperti listrik, jalan raya, sekolah, instalasi air bersih dalam kondisi yang mengenaskan. Pemukiman penduduk di Jolo, ibukota Provinsi Sulu, umumnya dalam kondisi kumuh dan tidak mendapatkan penerangan jalan memadai. Secara umum pemukiman warga sangat kumuh. Rumah-rumah petak dari kayu dan berhimpitan melalui gang-gang kecil umumnya dihuni oleh keluarga besar. Pasangan suami istri umumnya memiliki anak antara 7-12 orang. Anak balita kurang gizi dan pengangguran mencapai 60 % adalah fenomena umum yang dapat disaksikan secara kasat mata di sana.
Jalan raya dan tata kota secara umum semrawut dan kotor. 183 000 orang Tausug (sebutan bagi warga Sulu) hidup berhimpitan di wilayah pelabuhan Sulu yang hanya beradius 3 KM persegi. Warga-warga yang tinggal diperkampungan dan wilayah kotapraja lain di Provinsi Sulu, pegunungan dan pulau-pulau lainnya memilih tinggal di ibukota Sulu, Jolo, karena alasan keamanan dan menghindarkan diri dari peperangan antar faksi bersenjata di Philipina Selatan, MNLF, MILF dan Abu Sayyaf. Segelintir orang kaya lebih banyak menghabiskan kekayaannya untuk membeli senjata dan membayar tentara bayaran untuk mengamankan properti dan kekayaannya.
Tingkat literasi warga Sulu menduduki peringkat terendah di seluruh Philipina. Tingkat partisipasi pendidikan di tingkat menengah dan tinggi juga rendah akibat kondisi ekonomi yang sedemikian parah. Masyarakat Sulu terisolasi. Belum pernah penulis ketika berkunjung ke ibukota Provinsi kesulitan menemukan toko buku dan souvenir. Begitu pula dengan jati diri bangsa Sulu yang identik dengan penganut Islam yang taat.
dan bagian dari puak Melayu yang sadar diri nampak secara perlahan luntur dan seremonial. Tingkat literasi Quran sangat mengkhawatirkan. Generasi mudanya meskipun secara nominal mengaku beragama Islam, umumnya tidak lagi mampu membaca al-Qur’an. Sejarah Nabi dan para sahabat serta pemahaman dasar tentang agama Islam juga tidak menjadi kompetensi dasar di kalangan anak-anak, remaja maupun kalangan dewasa, karena minimnya madrasah dan lembaga pengajaran Islam tradisional seperti pesantren dan halaqoh-halaqoh.
Masyarakat mengalami disorientasi kultural akut dengan menggejalanya sikap-sikap eskapisme yang mengejawantah pemecahan masalah ekonomi, sosial, politik yang demikian parah pada hal-hal yang berbau metafisika karena kepasrahan dan ketidakmampuan untuk keluar dari keadaan berpuluh-puluh tahun. Praktik magi dan perdukunan sangat dominan di sana. Keberadaan pemimpin diidentifkasi dengan kemampuan metafisika dan kelebihan-kelebihan supranatural lainnya. Sehingga warga Sulu mudah dimobilisasi dan mistifikasi dari politisi dan kepentingan-kepentingan pribadi. Wal hasil, warga Sulu pasca penjajahan Spanyol, Amerika, Jepang dan Kemerdekaan tidak beranjak dan menemukan jati diri sesungguhnya. Apa yang orang Banten bisa bantu untuk mereka?.
PERJALANAN PANJANG MENUJU KEPULAUAN SULU,
PHILIPINA, 22-27 JULI 2015
Undangan dari Panitia
Tanggal 12 Juli, atas rekomendasi KUN penulis ditelepon oleh Muhamad Hanif atau lebih mesra Angah, pengurus Akademia Kajian Rantau Serantau (AKAR) Kuala Lumpur untuk memenuhi undangan dari panitia acara Inaugural Ceremony and Recognition of Rajah Baginda III Sharef Mohammad Nadidir Nadduhah Pulalon Amiril Muhminin sebagai pemimpin Sulu yang di iktiraf Antarabangsa tanggal 25 Juli 2015 di Jolo Sulu Philipina. Setelah teryakinkan tentang adanya hubungan historis dan intelektual antara Kesultanan Banten dan Kesultanan Sulu abad ke 17-18 melalui obrolan ringan dengan Dr. Ali Fadilah DEA, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Banten, ditengah-tengah kesibukan sebagai Ketua LP2M IAIN Sultan Maulana Hasanuddin dan Ketua Yayasan Bhakti Banten penulis atas rekomendasi dari Ketua KUN memutuskan untuk memenuhi undangan tersebut. Dengan niat menelusuri jejak hubungan historis Banten dan Sulu dan mendokumentasikan jalannya acara inagurasi tersebut, penulis mewawancarai banyak pihak baik di Indonesia, Malaysia maupun beberapa tokoh penting di Zamboanga dan Sulu Philipina.
PERSIAPAN KEBERANGKATAN KE JOLO, SULU
Hari Keberangkatan
Pada tanggal 22 Juli jam 1345, lima anggota rombongan atas undangan dari Raja Baginda III, penguasa Sulu: KH. Rohimuddin Nawawi Djahari (Ketua Kerukunan Ulama Nusantara (KUN)), KH. Shopandi Nawawi (Rois Jamiyyah Tarekat NU), KH. Ali Badri (Pendiri Majlis Warga Azmat Khan dan pimpinan Pondok Pesantren Arrisalah Pasuruan Madura), Ratu Bagus Bambang Wisanggeni (Ketua Umum Yayasan Kesultanan Banten), Tb. Moggi Nursatya (Yayasan Kesultanan Banten), dan Dr. Mufti Ali (Lab. Bantenologi dan Yayasan Bhakti Banten), bertolak dari Bandara Soekarno Hatta menuju Kuala Lumpur. Setibanya di KLIA jam 1620, rombongan dijemput oleh staf sekretariat Kerukunan Ulama Nusantara (KUN), Ust. Razali dan Muhammad Hanif (AKAR, Akademia Kajian Rantau Serantau) dan singgah di guesthouse KUN di Shah Alam. Dalam perjalanan menuju guesthouse, rombongan diajak mampir di restarea (Rehat dan Rawat) Dengkil untuk dijamu makan siang dan melaksanakan shalat jama takhir zuhur dan ashar. Setelah menikmati hidangan hangat ayam penyet dan teh dan kopi panas selama kurang lebih 40 menit, rombongan melanjutkan kembali perjalanan menuju guesthouse KUN.
Jam 1815 waktu setempat rombongan tiba di guesthouse KUN di Jalan kampung Tengah seksyen 27 Shah Alam. Rombongan dijamu oleh sekretariat KUN dengan kudapan setempat dan kopi tradisional Shah Alam yang sangat nikmat. Selama kurang lebih 3 jam, rombongan istirahat di guesthouse yang nyaman dan luas. Jam 2200 rombongan kembali dijemput oleh sekretariat KUN untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju bandara KLIA dan kamis 23 juli 2015 jam 0130 bertolak ke Manila. Transit di Manila International Airport 23 Juli 2015
jam 0500-1100
Singgah di restauran dan rumah H. Alan bin H. Soleh Zamboanga City jam 1400-1845 23 Juli 2015
Setelah tiba di Bandara Internasional Zamboanga, rombongan disambut oleh H. Alan bin H. Soleh adalah pengerusi Dakwah Salaf Centre, tokoh Islam Provinsi Zamboanga City, yang berjasa mendirikan puluhan madrasah di Zamboanga yang berpenduduk 40% Muslim (2 juta orang). Ia adalah seorang tokoh agama yang pernah mengenyam pendidikan lanjutan di Ummul Quro Mekah tahun 1978-1984.
H.Alan membawa kami ke restauran miliknya yang ada ditengah kota Zamboanga. Di restauran ini kami dijamu dengan menu makanan khas Sulu yang enak dan lezat.
Naik Kapal Fery dari Zamboanga ke Pulau Sulu
Pada jam 1845 kami dihantarkan oleh H. Alan ke Pelabuhan Kapal Fery Zamboanga Port. Dengan menaiki toyota Hi Ace model terbaru, kami bertolak dari rumah H. Alan yang megah ke Pelabuhan ke Pulau Sulu. Jam 1930 kami menaiki Kapal Kristel Jane 3 dan setelah menunggu lebih dari 1,5 jam, kapal akhirnya membunyikan horn-nya dan berangkat menuju Jolo Sulu.
Kami menaiki kelas 1 dengan ranjang tingkat sebagai tempat duduk dan sekaligus dipan kami selama delapan jam lebih. Ruangan kapalnya sederhana tetapi ber-AC. Kelelahan dan rasa kantuk menyebabkan kami tidak dapat berlama-lama mengobrol. Di samping angin laut di luar ruang dek tertutup dan pemandangan yang tertutup gelap menyebabkan kami memilih tidur lebih awal. Selama kami masuk ke toilet dan lorong pinggir kapal, bayangan kami membawa kami kepada fantasi tentang perjalanan ke Mekah menggunakan kapal api.
Menginap di Rumah H. Elul E. Salim, Pengusaha Sulu
Jam 0700 tanggal 24 Juli- jam 1900 tanggal 26 Juli
SHALAT JUMAAT DI MASJID RAYA SULU
Adalah bukan rahasia umum, keamanan adalah barang berharga di Sulu. Selain karena ancaman kelompok Abu Sayaf yang cukup mencemaskan dan tinggal di daerah pegunungan di Sulu, juga tidak jarang melakukan penculikan-penculikan terutama kepada tamu-tamu yang dianggap bisa mendatangkan ransom, uang tebusan tinggi, ke Masjid Raya Sulu kami dihantar ‘tentara bayaran’ bersenjata lengkap. Menjelang azan Jumat, oleh tuan rumah kami dihantarkan ke Jolo Sentral Mosque. Menggunakan mobil offroad dengan supir dan bodyguard bersenjata otomatis lengkap, kami dihantarkan langsung ke halaman depan Masjid Raya Sulu.
Jolo Sentral Mosque adalah Masjid Raya Muslim Sulu di Jolo. Shalat Jumat dilaksanakan mengikuti tata cara mazhab syafi’i. Diawali dengan azan pertama pada jam 1155, para jamaah menunaikan shalat sunah qabliah. Setelah selesai kemudian khatib berdiri dan menempati mimbar. Kemudian dilanjutkan dengan azan kedua dan khatib menyampaikan khutbahnya. Khutbah pertama yang dilsampaikan dalam bahasa Tausug, mengulas tentang manfaat ramadlan, amal perbuatan yang harus dilakukan sebelum dan setelah bulan ramadlan.
Umat Islam di Jolo Sulu sangat antusian mendengarkan khutbah khatib yang berlangsung hampir 50 menit. Khatib yang pernah mengenyam pendidikan Islam tingkat lanjut di Libia ini dengan penuh semangat menguraikan khutbahnya. Hadirin dengan khusu dan terbit menyimaknya. Pada khutbah kedua, setelah mengulas singkat simpulan dari khutbah pertama dalam bahasa Tausug, ia lalu menutupnya dengan doa dalam bahasa Arab. Doa-doa yang dibacakan sama dengan doa-doa yang sering dikumandangkan di masjid-masjid di Banten. Tidak ada doa-doa khusus, misalnya memohon keselamatan raja, pemimpin mereka atau memohon perbaikan nasib bangsa Muslim lainnya.
Pelaksanaan shalat jumatnya juga diimami oleh khatib tadi. Selesai khutbah, penulis bersama Ketua Umum Yayasan Kesultanan Banten menyempatkan diri berbincang-bincang dan foto bersama imam. Setelah tukar menukar nomor handphone dan alamat rumah, kami kemudian kembali ke tempat penginapan.
Makan Siang dengan Ikan Laut Terbaik Selepas Jumat
Kami menginap di rumah seorang pengusaha ikan dan produk laut lainnya yang sangat dermawan. Rumahnya, bila dibandingkan dengan rumah di sekitarnya, adalah rumah paling megah dengan fasilitas yang hampir menyerupai hotel bintang tiga. Rumah tersebut dijaga oleh lebih dari 10 lelaki tegap bersenjata sangat lengkap.
Selepas Jumat, kami dijamu oleh tuan rumah dengan sajian makanan laut. Ikan bakar pugut, sop ikan (mistang tula), ikan goreng stabatu. Untuk menembah selera, kepada makanan kami ditambahkan cuka yang orang Sulu menyebutnya dengan suka (vinegar), kecap tauyo, dan asin (garam), lara (cabai kecil), suwa (jeruk limo). Di samping ikan bakar, sop ikan dan ikan goreng, kami juga menikmati pangsit yang disebut oleh orang sulu dengan pansit. Kaunun atau nasi putih putih tentu saja disajikan dengan bersemangat oleh pelayan di atas piring besar yang mereka sebut dengan lay. Sebagai penutup, kami disajikan kue kudapan hangat yang bernama panggi-panggi (seperti donat tetapi berbentuk l onjong) dan qahawah, kopi buatan penduduk asli Tausug.
Qahawah Tausug
Minuman kopi khas tausug adalah minuman kopi nikmat yang disajikan kepada kami selepas makan siang dengan ikan dalam beragam sajian. Kopi ini dibuat secara tradisional dengan memanennya di kebun kopi lalu menjemurnya dan setelah kering digoreng lalu ditumbuk secara manual di rumah penduduk. Rasa kopinya seperti rasa kopi cap kapal api. Minum kopi adalah kebiasan sehari-hari orang tausug, baik laki-laki maupun perempuan. Setidaknya tiga kali sehari, Monalyn Bayani minum minuman yang menyegarkan ini. Sama seperti sepupunya, Merhada Bayani juga menegaskan hobinya minum minuman khas nusantara ini.
Relasi Sosial
ntuk Saridah Bayani, agama adalah hal terpenting untuk kriteria lelaki yang akan menikahinya. Ia juga harus berasal dari Sulu, setidaknya dari suku yang sama. Ia juga berkeyakinan tentang adanya suratan (takdir). Jika ia ditakdirkan menikah dengan lelaki non sulu, ia akan menerima itu dengan ikhlas. Ia adalah pekerja keras dan sederhana. Ia juga dapat memberikan penghidupan yang cukup untuk keluarga dan dapat berzakat setiap hari jumat. Mereka juga mengidolakan beberapa aktor dan aktris Philipina seperti Marian Rivera, Ding Dong dan Dantes.
Mereka tidak terlalu faham sejarah islam dan figur-figur penting penyebar Islam. Mereka mengenal Muhammad tetapi tidak banyak tahu tentang riwayat hidupnya, keluarganya dan biografi para sahabatnya.
Efren Baring (22 tahun), Rano Asaari (24 tahun), Hamzah bin Habil (20 tahun) adalah tiga orang pemuda lajang yang berhasil kami wawancarai di tempat penginapan. Mereka akan menikah bila situasi ekonomi memungkinkan. Wanita ideal bagi mereka untuk dinikahi adalah wanita alim berkerudung. Wanita muslim tentu saja adalah syarat mutlak wanita yang akan mereka nikahi. Wanita yang dapat membaca alquran sehingga bisa mengajarkan cara baca alquran kepada anak-anaknya. Pandai memasak adalah salah satu syarat wanita yang akan mereka nikahi. Bekerja atau tidak bagi calon istri mereka tidak terlalu penting dan itu bergantung kepada situasi saja. Empat samai lima anak mereka pilih untuk memiliki bila mereka sudah menikah. Mereka ingin berdikari dengan meninggalkan rumah orang tua mereka dan tinggal bersama dengan anak istri mereka bila mereka sudah menikah.
Memiliki pacar itu baik tidaknya bergantung kepada niatnya. Bila untuk mengenalnya dengan serius untuk menuju jenjang pernikahan, berpacaran menurut Hamzah itu tidak buruk. Tetapi menurut Efren baik buruknya bergantung kepada situasi ekonomi. Bila memiliki uang banyak, memiliki pacar tidak mengapa karena untuk memiliki pacar perlu berjalan dan itu membutuhkan dana.
KESULTANAN SULU (1300-1885)
DAN KONDISI MASYARAKAT SULU KINI
Rombongan Bertemu dengan Raja Bagindah III
Pertemuan rombongan ulama dari Jawa dengan Raja Bagindah III di halaman rumah Pak Salim. Tempat pertemuan berlangsung di area terbuka di halaman rumah Pak Salim. Udara cukup hangat dan alam sangat bersahabat. Tidak ada hujan dan angin kencang sehingga memungkinkan lancarnya jalan acara.
Acara dibuka dengan pengenalan satu per satu oleh Ust. Razali dari sekretariat KUN. Rombongan yang diperkenalkan dengan Raja Bagindah III adalah RTB Bambang Hendra Wissanggeni, Syeikh Rohimuddin Nawawi, wakil Mapim, Ali Badri, Syeikh Shopandi Nawawi, Syah Rizal.
Selanjutnya KH. Ali Badri menjelaskan silsilah geneaologi Raja Bagindah III yang tersambung ke Abdullah bin Alawi Amil Faqih. Semua yang hadir menegaskan ketersambungan genealogi Raja Bagindah III dengan Alawi Hadramaut. Raja Bagindah III menegaskan niatnya untuk mengadakan pemerintahan sendiri dengan bantuan dari saudara-saudaranya yang dari kesultanan lain di Nusantara. Ia berharap bahwa semua hadirin berdoa berharap akan kesuskesa rencana dan niatan menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Sekiranya betul memang diamanahkan untuk membantu Nusantara yang memerlukan bantuan. Ia akan bersatu satu per satu.
Meskipun banyak yang tidak senang dengan Islam, pada masanya nanti tidak ada seorangpun yang mampu menolak. Hati Raja Bagindah III menyatakan kebenaran tentang rencana pemerintahan sendiri. KH. Ali Badri menyatakan bahwa tahun 2005 menulis satu buku tentang keturunan Raja Abdullah yang tiada teridentifikasi dan sekarang ia menyaksikan langsung keberadaan keturunan Abdullah tersebut berada di Pulau Sulu.
Ia sangat senang dengan kehadiran rombongan meskipun kesederhanaan keadaan. Semua orang di pulau Sulu senang dengan kedatangan rombongan. Syeikh Rohimuddin tahun 2012 di pulau di atas Sabah terdapat sebuah pulau dengan Kerajaan antah berantah yang makmur dan suatu saat akan berdiri lagi sebuah kesultanan makmur di pulau itu.
Pertemuan selanjutnya ditutup dengan permohonan wawancara oleh penulis yang disampaikan oleh Ketua Ngo Pertubuhan Kekeluargaan Rumpun Nusantara (HaRUM), Syahrijal. Kemudian Sultan Banten memotivasi Raja Bagindah III untuk bangkit bersama menegakkan kejayaan Kesultanan. Selanjutnya acara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh KH. Shopandi Nawawi dan disaksikan oleh semua warga Sulu yang berkerumun di halaman rumah Tuan Salim dan di jaga oleh puluhan bodyguard. Selanjutnya satu per satu rombongan menyalami Raja Baginda III dan mendoakan kelancaran program dan rencana-rencananya. Selanjutnya rombongan menyalami satu per satu Pak Tuan Syarif Ahmad yang bergelar Syarif Ahmad yang disaksikan oleh keluarganya. Warga sekitar rumah Tuan Salim dengan antusias menyaksikan temu ramah Raja Bagindah III dan nampak mereka sangat senang dan bahagia dengan kedatangan kami.
Respon penduduk Pulau Sulu terhadap perjuangan Raja Bagindah III untuk mendirikan Pemerintahan Kesultanan Sulu lepas dari Republika Philipina:
Dayang Glenn (28 tahun):
Ia menyatakan bahwa setiap orang di pulau Sulu menghormatinya. Ia adalah seorang yang dinanti-nantikan oleh setiap orang tentang kesusksesan, perdamaian, dan persatuan semua orang Sulu. Ia adalah rahmat dari Allah SWT untuk orang Sulu. Ia dan lainnya mendukung Raja Bagindah III dan setia dan mencintainya sepenuh hati.
Hajjah Rasah binti Amilasan (58 tahun):
Ia menyatakan bahwa Raja Bagindah III seperti yang dinyatakan Dayang Glenn bahwa beliau orang yang sangat dicintai oleh warga Sulu dan akan setia selalu kepadanya.
Hajjah Jainah Amilasan (70 tahun):
Ia menyatakan bahwa ia bangga dengan Raja Bagndah III. Ia berharap bahwa Allah akan membantu Raja Bagindah III untuk tujuan yang sangat mulia ini demi membawa kedamaian dan kemajuan untuk warga Sulu.
Tuan Sali (52 tahun):
Ia menyatakan bahwa Raja Bagindah III perjuangannnya harus didukung. Sejak malam ini dan seterusnya akan mendukungnya agar tujuannya tercapai dengan berdoa kepada Alllah SWT dan syafaat Nabi Muhammad SAW.
Tuan Muslimin bin Sahirun (49 tahun):
Ia mendukung perjuangan Raja Bagindah III untuk kembali menghidupkan Kesultanan Sulu dan membawa kejayaan untuk warga Sulu.
Habil bin Muhammad (50 tahun):
Ia bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi jalan untuk kelancaran rencana dan perjuangan menegakan Kesultanan Sulu.
Suhani binti Saulin alias Sandra Wadjaa (55 tahun):
Warga Sulu mendukung penuh untuk perjuangan Raja Bagindah III sehingga dapat hidup dengan sejahtera, damai dan aman. Warga sudah berjuang bersama Raja Bagindah III selama sembilan tahun untuk mendapatkan hak otonomi tidak hanya kaya dalam alam pikiran tetapi juga sumber daya alam di daratan dan lautan. Jika kita hidup dalam otonomi kita masih terikat dengan pemerintahan Philipine. Keadaan masyarakat masih tertindas dan menyebabkan masyarakat melakukan kejahatan karena mereka tidak memiliki sarana untuk hidup.
Kehidupan warga Sulu masih penuh dengan huru hara sehingga banyak yang migrasi ke Malaysia dan negara lainnya untuk mencari penghidupan meskipun secara psikologis lebih berat dari pada tinggal di Sulu sendiri. Perjuangan Raja Bagindah III tidak dimauksudkan tidak hanya untuk Raja sendiri tetapi untuk masyarakat seperti negera-negara sejahtera lainnya.
Pertemuan Raja Bagindah III dengan Rombongan gelombang kedua dari Malaysia pada jumat malam Sabtu tanggal 24 Juli 2015, 21.330-22.30
Seperti pertemuan pertama dengan rombongan alim ulama, rombongan gelombang kedua dipandu oleh Ust. Razali dari KUN. Pertemuan berlangsung di halaman rumah penginapan rombongan. Dengan formasi tempat duduk yang melingkar dan bersaf-saf ke belakang. Kursi yang digunakan cukup sederhana, tanpa sandaran dan dengan tempat duduk yang agak kecil. Meskipun tempat pertemuan sederhana, tidak mengurangi sedikitpun kedekatan Raja Bagindah III dengan rombongan. Tidak ada jamuan makan dan air diberikan saat pertemuan tersebut. Meskipun demikian pertemuan berlangsung khidmat dan lancar.
Raja Bagindah III menyatakan bahwa agama Islam banyak ditentang sehingga tidak mengalami kebangkitan. Kita menunggu sampai kita memiliki kekuatan untuk melawan musuh-musuh kita. Ia menegaskan bahwa ia sedang menunggu masa yang tepat. Masa yang tepat ditakdirkan oleh Allah SWT. Kalau belum waktunya, strateginya harus dengan cara yang halus dan tidak dikesan. Mula-mula perjuangannya untuk menenangkan rakyat supaya tidak ada kekacauan. Dalam hal agama, ia menyatakan bahwa belum ada kekuatan.
Salah seorang audien mengajukan pertanyaan bagaimana respon warga dengan rencana Raja Bagindah III. Kehidupan seperti film. Setiap ada bintang, pasti ada lawan, penentang dan pembangkang. Bangsa Sulu dalam hatinya memiliki kejahatan dan perasaan egoisme. Sebagian dari mereka yang pandai menjaga disiplin dan kemajuan, akan didukung oleh Raja Bagindah III. Kalau seseorang menjadi kaya raya, ia akan membelikan senjata kepada anak buahnya untuk menjaganya.
Kemudian pertemuan diramaikandengan pujian dan tembang salawat dan salam kepada Rasulalllah dengan diiringi oleh satu beduk marawis. Tembang salawat dinyanyikan oleh semua hadirin termasuk oleh Raja Bagindah III dan sebagian warga Sulu.
Tembang salawat nasyid kedua kembali dilantunkan. Isi tembang menegaskan akan terjadinya kejayaan bila umat Islam merujuk kepada teladan Rasulallah SAW dan para sahabatnya. Tembang mengajak kepada para mujahid dan mujahidah untuk meninggalkan zaman fitnah agar kalimat Alllah tegak dan dunia baru Islam terbangun. Masih segar kenangan indah, zaman cemerlang gilang gemilang. Ketika Rasulallah ada di sisi. Para sahabat mentadbir bumi. Zaman nubuwwah. Islam laksana api yang menyala. Menerangi teman dan juga sahabat. Bahkan panasnya membakar lawan. Di celah itulah kami mengatur langkah. Membela sebuah thaifah. Sedikit barak. Tak pernah padam. Digenggam kuku, sebuah azam.
Lagu berikutnya adalah salah satu lagu Iklim yang sangat terkenal, ‘suci dalam debu.’ Semua anggota rombongan dan sebagian warga yang mengelilingi pertemuan turut menyanyikan lagu yang sangat popular ini. Dengan kompak dan penuh penghayatan, semua yang hadir menyanyikan lagu ini.
Selanjutnya ditembangkan satu puisi:
Untukmu jiwa dan darah kami
Kami akan berjuang demi kebangkitan Islam
Kami rela berkorban demi Islam yang mulia
Kami penuhi panggilanmu untuk mu tuanku yang mulia
Kami akan terus bersama
Untuk mu jiwa jiwa kami
Untukmu jiwa dan darah kami.
Kemudian puisi itu ditembangkan dan para hadirin kemudian berdiri dan menyanyikan lagu tersebut dengan semangat.
Raja Bagindah III nampak terharu saat mendengar lagu ini.
Pesan lagu ini nampaknya telah memancing emosi dan perasaan sentimentil Raja Bagindah III sehingga ia tertunduk terharu dan nampak menghayati lagu ini.
Lagu kemudian diikuti dengan nyanyian: ya Rabbi izinkanlah kami untuk berjihad di jalan mu.
Pertemuan kemudian ditutup dengan doa bersama dipimpin langsung oleh Raja Bagindah III. Isi doanya dalam bahasa Arab dan memohon semoga semua h arapan dikabulkan-Nya. Selanjutnya Raja Bagindah III mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dukungan semua pihak.
Bersambung…kepada tajuk akan datang
ACARA INTI: ACARA PELANTIKAN RAJA BAGINDAH III
Note :
i. Oleh kerana pendakwah dan Sultan dari keturunan keturunan Baginda s.a.w, keturunan mulia itu masih kekal hingga sekarang dan mereka memakai gelaran pangkal nama ‘Syarif’. Sesetengah tempat, ahlul bait dimasyhurkan dengan gelaran ‘Sayyid’, namun di Sulu, mereka menggunakan ‘Syarif’. Keturunan Syarif sangat ramai sehingga membentuk beberapa perkampungan antaranya kampung Tumangas.
ii. Raja Baginda bukan Sultan baru, beliau pewaris Raja Baginda Sulu yang membawa agama 600 tahun lalu, juga sebagai penabal kesultanan Sulu bersama majlis Sharif dan tiada kepentingan diatas sumber asli dan ekonomi Sulu seperti minyak dll.